Subscribe:

Minggu, 12 Juni 2011

study hadits


NAMA                                    : AVINA NAILUL IZZA
NIM                                        : D07208075
JURUSAN/ SEMESTER       : PGMI / 6
TUGAS                                   : STUDY HADITS

1.      Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadits pada masa Rasullah dan sahabat, tabiit ( bani umayyah dan abbasiyah )
Jawab :
Ø  Pada masa rasulullah :
Masa ini disebut dengan masa larangan menulis hadits, pada masa Rasulullah masih hidup hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-quran. Hadits belum di abadikan dalam tulisan, para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan pancaindranya dari Nabi Muhammad saw, dengan berita liosan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Nabi Muhammad saw. Yang artinya :

“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dari ku selain  Al- qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dari ku selain Al- qur’an hendaknya ia hapus. Barang siapa yang sengaja berdusta atas nama ku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.”

Larangan penulisan hadits tersebut, ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-hadits ke dalam lembaran- lembaran tulisan Al-qur’an, karena dianggapnya segala yang di katakana Rasulullah saw. Adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil ( turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al-qur’an dengan Al-hadits.

Ø  Pada masa sahabat :
Masa ini disebut masa periwayatan hadits secara terbatas (12-40 H). Para sahabat menyampaikan amanat sedikit demi sedikit menyampikan hadits kepada orang lain setelah nabi saw wafat. Hal tersebut dilakukan mereka dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda nabi saw :
Ketahuilah ! Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir) diantaramu. (diriwayatkan ibnu Abdil bari dari abu bakrah)
Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Periwayatan yang dilakukan para sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar lebih sangat berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan dalam mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda nabi saw :
Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat jama’ah perawi hadist)
Para sahabat disamping terbatas dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama sahabat dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang diriwayatkan), tidak memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya.
Baru pada masa khalifah Ustman dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya, mereka meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:  
a.       Dengan lafazd asli seperti diterima dari nabi
b.      Dengan maknanya, walupun lafzdnya lain, karena yang penting adalah menyampaikan maksud isinya.
Ø  Pada masa tabi’in
Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
2.      Bagaimana system penyusunan dan penulisan hadits pada masa rasulullah, sahabat, dan tabi’it ( bani umayyah dan bani abbasiyah )
Jawab :
Ø  Penyusunan dan penulisan hadits pada masa rasulullah
Kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah, walaupun masih dalam sangat yang terbatas. Pada dasarnya pada masa Rasulullah sudah banyak umat Islam yang membaca dan menulis, bahkan Rasul sendiri memiliki sampai 40 orang penulis wahyu disamping para penulis urusan-urusan lainnya. Oleh karenanya argumen yang menyatakan kurangnya umat Islam yang bisa baca tulis adalah penyebab yang tidak ditulis secara resmi pada masa Rasulullah saw adalah dugaan yang sangat keliru, karena berdasarkan keterangan diatas terlihat banyak sekali umat Islam yang mampu membaca dan menulis, cuma kenapa hadis tidak ditulis pada masa itu secara resmi, ini bukan persoalan tidak adanya yang bisa menulis, akan tetapi ada faktor-faktor lain yang oleh Rasulullah sendiri melarang menulis hadis tersebut. Sehingga kita temukan berbagai hadis yang sebagian membenarkan bahkan menambahkan sebagian yang lain melarang untuk menulisnya.
Ø  Penyusunan dan penulisan hadits pada masa sahabat
Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasulullah saw yang membolehkan untuk menuliskan hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan hadis pada masa Rasulullah bagi mereka yang diberi kelonggaran-kelonggaran oleh Rasulullah untuk melakukannya.
Namun hal tersebut, para sahabat menahan diri dari tidak menuliskan al-hadis, tidak lain hanya untuk mereka selalu berada dalam penyelamatan al-qur’an. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa bertahan lama. Sedikit demi sedikit terjadi perubahan, maka ketika itu semakin banyak para sahabat  yang membolehkan penulisan hadis. Abu Bakar Al-Shiddiq, umpamanya adalah seorang sahabat yang berpendirian tidak menuliskan hadis. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya dari Al-Qasim Ibnu Muhammad, dari Aisyah r.a, dia (Aisyah) mengatakan bahwa ayahnya mengumpulkan hadis yang berasal dari Rasulullah saw yang jumlahnya sekitar 500 hadis. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-balikkan badannya berkali-kali, dan tatkala subuh datang dia meminta kepada A’isyah hadis-hadis yang ada padanya. Selanjutnya, ketika ‘aisyah datang membawa hadis-hadis tersebut,Abu Bakar menyalakan api lalu membakar hadis-hadis itu.
Demikian pula halnya dengan ‘Umar Ibnu Al-Khattab yang semula berpikir untuk mengumpulkan hadis, namun tidak lama berselang, dia berbalik dari niatnya tersebut. Diriwayatkan oleh ‘Urwah Ibnu Zubeir, bahwasanya ‘Umar Ibnu Al-Khattab r.a hendak menuliskan sunnah, maka ia meminta fatwa sahabat yang lain tentang hal itu, dan para sahabat mengisyaratkan agar Umar menuliskannya. Umar kemudian melakukan istikharah kepada Allah selama sebulan, yang akhirnya dia mengambil suatu keputusan  yang disampaikan dihadapan para sahabat di suatu pagi, seraya berkata “sesungguhnya aku hendak membukukan sunnah, namun aku teringat pada suatu kaum sebelum kamu yang menuliskan beberapa kitab, maka mereka asyik dengan kitab-kitab tersebut dan meninggalkan kitab Allah, dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mencampurkan kitab Allah dengan apapun untuk selamanya. “ Pada riwayat lain melalui jalur Malik Ibnu Anas, Umar, ketika ia berbalik dari niatnya untuk menuliskan Sunnah, mengatakan, “ Tidak ada suatu kitabpun yang dapat menyertai kitab Allah.
Dari pernyataan ‘Umar di atas, terlihat bahwa penolakannya terhadap penulisan Hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam kepada mempelajari sesuatu yang lain selain Al-Qur’an dan menelantarkan Kitab Allah (Al-Quran). Justru itu, dia melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al-Qur’an, terma­suk Hadis. Dan terhadap mereka yang telah telanjur menu­liskannya, “Umar memerintahkan mereka untuk mem­bawanya kepadanya, dan kemudian ia sendiri membakar­nya”
Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada masa-masa awal itu di antaranya, adalah ‘Abd Allah ibn Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Hu­rairah, Ibn ‘Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Akan tetapi, tatkala sebab-sebab larangan penulisan Hadis tersebut, yaitu kekhawatiran akan terjadinya per­campur bauran antara Al-Qur’an dengan Hadis atau dengan yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan larangan tersebut, dan bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan atau menganjurkan untuk menuliskan Hadis. Hal tersebut adalah seperti yang dilakukan Umar, yaitu tatkala dia melihat bahwa pemeli­haraan terhadap Al-Qur’an telah aman dan terjamin, dia pun mulai menuliskan sebagian Hadis Nabi saw yang se­lanjutnya dikirimkannya kepada sebagian pegawainya atau sahabatnya. Abu ‘Utsman al-Nah di mengatakan, “Ketika kami bersama ‘Utbah ibn Farqad, ’Umar menulis kepadanya tentang beberapa permasalahan yang didengarnya dari Ra­suI saw, yang di antaranya adalah mengenai larangan Ra­sulullall saw memakai sutera,”
Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan penulisan Hadis, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur’an, salah satu penyebab utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang, maka mereka mulai membolehkan, bahkan melakukan sendiri, penulisan Hadis.



NAMA                                    : AVINA NAILUL IZZA
NIM                                        : D07208075
JURUSAN / SEMESTER      : PGMI / 6
TUGAS                                   : STUDY HADITS

1.      Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan penulisan hadits pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in? uraikan
Jawab ;
Ø  Pada masa rasulullah :
Masa ini disebut dengan masa larangan menulis hadits, pada masa Rasulullah masih hidup hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-quran. Hadits belum di abadikan dalam tulisan, para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan pancaindranya dari Nabi Muhammad saw, dengan berita liosan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Nabi Muhammad saw. Yang artinya :


“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dari ku selain  Al- qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dari ku selain Al- qur’an hendaknya ia hapus. Barang siapa yang sengaja berdusta atas nama ku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.”
Larangan penulisan hadits tersebut, ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-hadits ke dalam lembaran- lembaran tulisan Al-qur’an, karena dianggapnya segala yang di katakana Rasulullah saw. Adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil ( turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al-qur’an dengan Al-hadits.

Ø  Pada masa sahabat :
Masa ini disebut masa periwayatan hadits secara terbatas (12-40 H). Para sahabat menyampaikan amanat sedikit demi sedikit menyampikan hadits kepada orang lain setelah nabi saw wafat. Hal tersebut dilakukan mereka dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda nabi saw :
Ketahuilah ! Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir) diantaramu. (diriwayatkan ibnu Abdil bari dari abu bakrah)
Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Periwayatan yang dilakukan para sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar lebih sangat berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan dalam mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda nabi saw :
Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat jama’ah perawi hadist)
Para sahabat disamping terbatas dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama sahabat dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang diriwayatkan), tidak memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya.
Baru pada masa khalifah Ustman dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya, mereka meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:  
a.       Dengan lafazd asli seperti diterima dari nabi
b.      Dengan maknanya, walupun lafzdnya lain, karena yang penting adalah menyampaikan maksud isinya.
Ø  Pada masa tabi’in
Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".


2.      Apa pengertian hadits di tinjau dari segi perawi dan hadits meliputi hadits maqbul, mardud, shoheh, hasan, dan dhoif ?
Jawab :
hadits di tinjau dari segi perawi
a.       Hadits muitawatir yaitu suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta
Hadits mutawatir di klasifikasikan menjadi 2 yaitu
1.      Mutawatir lafdhy yaitu hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknnanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan lainnya.
2.      Mutawatir ma’nawi yaitu hadits mutawatir yang rawi- rawinya berlain- lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain- lainan susunan redaksinya itu terpat persesuaian pada prinsipnya.
b.      Hadits ahad yaitu hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir  atau suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak member pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
Hadits ahad di klasifikasikan menjadi :
a.       Hadits masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir
Hadits masyhur dibagi menjadi 3 yaitu
1.      Masyhur dikalangan para muhaddisin dan lainnya ( golongan ulama ahli ilmu dan orang umum )
2.      Masyhur di kalangan ahli- ahli hadits saja, atau ahli fiqih saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
3.      Masyhur di kalangan orang- orang umum saja
b.      Hadits aziz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqoh saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya.
c.       Hadits gharib yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi
Hadist gharib di klasifikasikan menjadi 2 yaitu :
1.      Gharib mutlak ( fard ) yaitu apabila penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya.
2.      Gharib nisby yaitu apabila penyendiriannya itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi.

3.      Hadits dhoif tidak boleh untuk menetapkan hokum syar’I tapi juga boleh untuk apa ? uraikan
Jawab :
Hadits dhaif menurut bahasa berarti hadits yang lemah yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah tentang benarnya hadits itu berasal dari rasulullah
Para ulama’ member batasan bagi hadits dhoif yaitu hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan
Hadits dhoif tidak bias untuk menetapkan untuk hokum syar’I tetapi boleh untuk fadailul amal baik yang berkaitan dengan hal-hal yang di anjurkan maupun hal-hal yang dilarang
4.      Ternyata dapat dibedakan pengertiannya antara hadits, sunnah, khabar, dan atsar, uraikan pengertian masing- masing
Jawab :
Ø  Hadits yaitu  sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya
Ø  Sunnah yaitu segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW selain al-qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar menetapkan hokum syara’
Ø  Khabar yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, sahabat dan taabi’in.
Ø  Atsar yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat semata



NAMA                                  : AVINA NAILUL IZZA
NIM                                       : D07208075
JURUSAN / SEMESTER   : PGMI / 
TUGAS                                  : STUDY HADITS

1.       Bagaimana kedudukan dan fungsi hadits dalam Islam ?
Jawab :
Hamper seluruh umat islam telah sepakat menetapkan Al-hadits sebagai salah satu undang-undang yang wajib ditaati, baik berdasarkan petunjuk akan, petunjuk nash-nash Al-qur’an maupun ijma’ para ulama

a.       Menurut petunjuk akal : Nabi Muhammad adalah Rasul Allah yang telah diakui dan dibenarkan umat Islam. Di dalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hokum-hukum syari’at kepada umat, kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan yang is dan redaksi peraturan itu telah diterima dari Allah swt.atau dari hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah, atau berasal dari hasil ijtihat beliau. Dan sudah selayaknya jika peraturan-peraturan dan inisiatif-inisiatif beliau kita tempatkan sebagai sumber hokum positif
b.      Menurut petunjuk nash Al-qur’an : Al-qur’an telah mewajibkan ittiba’ dan mentaati hokum-hukum dan peraturan-peraturan yang di sampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
“ Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” ( An-nisa’ : 64)
c.       Ijma’ u’sh sahabat   : Para sahabat sepakat menetapkan wajibu’ l- ittiba’ terhadap Al-Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Di waktu rasulullah masih hidup para sahabat sama konsekuen melaksanakan hokum-hukum Rasulullah, mematuhi peraturan-peraturan dan meninggalkan larangan-larangannya. Sepeninggal Rasulullah para sahabat jika tidak menjumpai ketentuan dalam Al-qur’an tentang sesuatu perkataan, mereka sama menanyakan bagaimana ketentuan dalam hadits.
Perbendaharaan Hadits terhadap Al-Qur’an
a.       Berfungsi menetapkan dan memperkuat hokum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-qur’an
b.      Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ( persyaratan ) ayat-ayat Al-qur’an yang masih mutlak dan memberikan takhshish ( penentuan khusus ) ayat-ayat Al-qur’an yang masih umum
c.       Menetapkan hokum atau aturan-aturan yang tidak didapatib di dalam Al-qur’an
2.       Bagaimana sejarah singkat tentang perkembangan dan pertumbuhan hadits pada masa tabi’in, tabi’it tabi’in dan tabi’it tabi’it ?
Jawab :
Ø  Pada masa tabi’in
Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
Ø  Pada masa tabi’it tabi’in
pada abad kedua hijriyah secara teknis lebih baik dan cukup memadai artinya bahwa kemampuannya dalam bidang tulis menulis, baca dan pembukuan sudah mulai berkembang. Pada kesempatan ini kita akan membagi sistem penerimaan dan penyampaian hadits sebagai berikut :
1.      Penyampaian dengan bahasa lisan. Contoh kejadian ini sebagaimana yang dilakukan oleh Sofyan Tsauri, Abdullah bin Abdullah Al Aswad Al Harisi mengatakan ketika Sofyan merasa tidak aman beliau berusaha menyelamatkan buku-bukunya dan ketika keadaan sudah aman beliau memanggil saya dan Yazid Al Mukhibi. Kami berdua lalu mengeluarkan kitab-kitab beliau. Ketika saya ketemukan bahwa dalam harta rikaz wajib dikeluarkan zakatnya 1/5 beliau tertawa lalu mengambil sembilan alat penyimpan buku lagi dan diberikan kepada kami. Beliau berkata “semua itu kembalikan kesini” seraya menunjuk kebawah dadanya. Saya lalu berkata kalau begitu tinggalkan saja kitab ini, sekarang beritahukanlah hadits itu kepada kami, beliau lalu meriwayatkan hadits kepada kami tanpa melihat kitab.[1][7] Metode ini sebetulnya sudah mulai tampak sejak abad II hijriyah dan berlangsung sampai lama sekali sesudah itu. Tetapi dalam lingkup yang sempit dan sangat sederhana. Para muurid tinggal dalam waktu yang cukup lama. Dan dari pemahaman semacam ini lama kelamaan akan memperoleh hadits dari guru-gurunya.
2.      Guru membacakan kitab
Dalam membaca kitab dituntut untuk teliti dan sabar, seorang guru punya kebiasaan membacakan hadits-hadits kepada muridnya dengan syarat mudah didengar dan mudah dipahami. Cara ini dibagi dalam beberapa kelompok antara lain :
a)      Guru membacakan kitabnya sendiri sedang murid mendengarkanya. Kondisi seperti ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ahmad, ia mengatakan bahwa Abdullah bin Mubarok adalah orang yang paling banyak punya hadits, ia juga seorang hafidz, ia tidak pernah mengajarkan hadits kecuali membaca kitab.[2][8]
b)      Guru membacakan kitab orang lain sedang murid mendengarkannya. Abu Abdillah mengatakan bahwa Ibnu Jayid mengajarkan kitab-kitab dari orang lain.[3][9]
c)      Murid membacakan suatu kitab sedang guru mendengarkannya. Guru di sini berfungsi sebagai fasilitator bagi muridnya dengan proses pembelajaran lebih mengaktifkan kegiatan siswa. Kegiatan semacam ini sebagaimana biasa dilakukan oleh Ibnu Mahdi, ia berkata tentang kitab As Sholah. Saya membacakannya kepada Malik begitu juga kitab-kitab yang lain, saya membacakannya kepada beliau, waktu membaca saya melihat kitabku.[4][10] Tampaknhya memang ada sejumlah ahli-ahli hadits yang sering membacakan kitab-kitab tertentu dihadapan gurunya. Habib bin Abu Thalib sekretaris Malik bin Annas, ia selalu membacakan hadits dihadapan Malik bin Annas. Sejak awal abad II hijriyah metode membacakan kitab dihadapan guru sudah dikenal. Metode ini sangat berkembang dikalangan ahli-ahli hadits dan tampaknya kadang-kadang guru membagikannya kepada para murid. Ibnu Hibban mengatakan habib bin Abu Tholib sekretaris Malik bin Annas meriwayatkan hadits dari orang-orang yang kurang tsiqoh. Ia membukukan hadits-hadits orang lain dalam buku mereka. Oleh karena itu orang yang mendengar pembacaan hadits dari Habib tidak dapat dijamin keshohihannya.[5][11] Dari kritikan Ibnu Hibban ini dapat disimpulkan bahwa membagi-bagi naskah hadits kepada murid-murid lalu diminta untuk membacakannya itu sudah biasa terjadi. Kalau hal itu tak pernah dilakukan kenapa ada kritikan Ibnu Hibban.
3.      Imla’
Sebetulnya banyak sekali contoh-contoh yang harus dilakukan oleh para sahabat bahkan rasul sendiri tentang metode imla’ ini. Tapi juga ada satu hal yang dilakukan pada abad II sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Nu’aim, ia berkata saya melihat Sofyan datang ketempat Umar bin Dzar ia menanyakan sesuatu tetapi Ats Tsauri tidak menulis. Kemudian Sofyan bangun lalu pergi ke padang atsir dan saya mengikutinya. Saya lihat ia duduk kemudian mengeluarkan papan-papan dari tempat tali celananya lalu ia menulisnya.[6][12] Atau juga hal ini yang pernah dilakukan oleh Ibnu Juraiji sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hambal, seketika Ibnu Juraiji datang ke Basyroh. Ahmad bin Mu’adz berdiri dan bikin ribut seraya berkata “kami tidak mau menulis hadits kecuali di imla’kan.” Ibnu Hammbal ditanya apakah Ibnu Juraiji kemudian mengimla’kan ? Jawabnya ya. Mereka menulis berdasarkan imla’.[7][13] Dengan melihat beberapa kejadian di atas tampaknya metode imla’ juga dipakai tapi kurang begiru populer bila dibanding dengan metode lainnya yang sudah dilakukan pada saat itu.
4.      Pinjam meminjam dalam rangka menyeleksi.
Berkaitan dengan masalah penyebaran hadits baik dengan cara lisan, imla’ ada satu hal penting yang harus dilakukan pada masa tabi’it tabi’in yaitu tentang pinjam meminjam kitab dan saling koreksi. Sofyan Sairi pernah mengoreksi kitab-kitab zaidah. Ahmad bin sim’an mengatakan bahwa Ibnu Mahdi berkata “Zaidah meminjamkan kitab-kitabnya kepada Sofyan Sairi.” Tanya Ahmad bin Sim’an “Apakah berita itu benar?” jawab Ibnu Mahdi Ya. Bahkan mereka tidak berbeda pendapat kecuali dalam sepuluh hadits saja.[8][14] Kegiatan serupa juga sering dilakukan Mailk bin Annas, ketika itu Ibnu Wahab diberi tahu bahwa Ibnu Al Qosim banyak berbeda pendapat tentang masalah hadits dengan dia. Ia menjawab ya. Memang Ibnu Al Qosim datang ketempat Maik ketika Malik sudah tua, sedang saya datang ketempat Malik ketika Malik masih muda, beliau masih segar dan kuat, kitabku diambilnya dan dibaca apabila beliau menemukan kekeliruan dalam kitabku, beliau mengambil kain lalu dibasahi, kemudian dihapusnya kekliruan itu, setelah itu beliau membetulkan kembali.[9][15] Mencermati beberapa kejadian tersebut bisa diambil pengertian tentang cara penyampaian dan penerimaan hadits pada waktu itu dengan mengemukakan bahasa tulisan melalui kitab-kitab yang ada, kepingan kayu, melalui hafalan dengan metode mendengarkan ucapan para guru-gurunya. Demikian juga metode imla’ sudah dilakukan bersamaan sekaligus dengan koreksinya, dengan korektor para gurunya.
Ø  Pada masa tabi’it tabi’it

0 komentar:

Posting Komentar